Minggu, 24 Oktober 2010

STUDI KASUS

 KONFLIK KELUARGA DAN PERKEMBANGAN SOSIALISASI REMAJA

Langsung dalam taraf ringan sampai ekstrem, yang memaksa mereka untuk tidak saling bertegur sapa,saling menjelekan, dan bahkan sampai saling mencari kesalahan orang lain serta saling membenarkan dirinya sendiri.
Hal ini biasanya diakhiri dengan saling merebut perhatian dan dukungan dari pihak orang tua kandung atau mertua bila pihak mertua atau orang tua tidak bijaksana, maka konflik akan meningkat intensitasnya. Andaikan para orang tua tidak bertegur sapa, otomatis anak-anak mereka dilarang bermain dan bertegur sapa dengan anak-anak seteru mereka, walaupun mereka sebenarnya adalah saudara sepupu. Persaingan perolehan materi diantara keluarga yang berseteru akan semakin meningkatkan kadar kebencian diantara mereka.
Tanpa kehadiran dan upaya orang yang di tuakan, yang bijaksana dan dihormati oleh kedua pihak yang berseteru maka kalaupun diupayakan kedamaian, hasil akhirnya justru semakin meruncingkan perseteruan. Konflik eksternal yang terkadang membias dalam konflik internal berlanjut, sementara tanpa disadari pada saat bersamaan anak-anak tumbuh dan berkembang menjadi remaja.
Bagi remaja yang pada dasarnya memilikipotensi mental yang relatif tangguh,bisa jadi mereka berprestasi sosial yang tinggi dan baik. Namun prestasi tersebut bisa disebabkan upaya soliter mereka sendiri tanpa mempertimbangkan aspirasi lingkungan dimana mereka berada jadi tampak cenderung egoistis dan egosentris.
Bagaimana jika remaja yang datang dari orangtua yang selalu menghadapi konflik internal berlanjut yang destruktif?
Hidup diantara orangtua yang sering bertengkar tentu saja sulit memperoleh rasa percaya dan terpercaya hakiki yang sangat dibutuhkan bagi perkambangan kepribadian yang sehat.
Mereka juga mengalami kesulitan bergaul, sering diliputi kecurigaan berlebih terhadap lingkungan, mudah memaki dan mencaci lingkungan, dan kalaupun menemukan sahabat yang dirasa cocok, maka sifat terhadap sahabat tersebut akan sangat posessif. Sifat posessif tersebut akan menjadi bumerang terhadap lepasnya persahabatan yang terjalin, karena sahabatnyapun menjadi kurang nyaman dan akhirnya meninggalkan dirinya serta menyisakan kekecewaan yang besar bagi si remaja.
Kecuali itu bila akhirnya mereka mendapatkan kelompok senasib, maka fanatisme kelompok akan menguasai diri mereka. sayangnya, pilihan kelompok sering kali justru bukanlah kelompok yang kreatif. tawuran, perkelahian, bahkan tindak pidanapun akan mereka jalani demi fanatisme buta guna menjaga kebersamaan dengan kelompoknya tersebut.
Jadi demi perkembangan kepribadian anak remaja kita, mengapa kita tidak belajar menyiasati setiap konflik yang terjadi agar berkembang menjadi konflik yang berguna.




KONFLIK ANTAR SUAMI ISTRI

Lima tahun pertama perkawinan ditandai masa penyesuaian bagi pasangan suami istri. Dalam masa penyesuaian ini, sumber masalah utama adalah penyesuaian dalam bidang pengelolaan finansial keluarga serta dalam bidang kehidupan seksual.
Apabila penyesuaian antara kedua pasangan tidak kunjung tiba, konflik tetap berlanjut, bahkan dapat berkembang menjadi lebih kompleks oleh hadirnya sumber konfllik baru (seperti perbedaan visi dalam beberapa hal, tata krama atau keyakinan beragama, bahkan mungkin saja sudah terjadi perselingkuhan pada salah satu pasangan.) maka, dapat dibayangkan iklim keluarga yang menegangkan, gelisah, tidak nyaman dan penuh bentakan, cacian tiada henti.








sumber : http://klipingdigital.wordpress.com/2009/01/03/konflik-keluarga-dan-perkembangan-sosialisasi-remaja/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar